Jalur yang Terlupakan : Yogyakarta - Palbapang

 Jalur Yang Terlupakan : Yogyakarta - Palbapang

Peta jalur kereta api di Yogyakarta berupa garis hitam tahun 1933
Sumber : http://media-kitlv.nl/all-media

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh. Salam Sejarah. Halo para pembaca, selamat datang di blog kami. Bagi Anda yang pernah mengunjungi Kota Yogyakarta pasti sudah tidak asing lagi dengan bangunan Stasiun Yogyakarta atau Stasiun Tugu. Bangunan yang diresmikan pada tanggal 20 Juli 1887 ini merupakan saksi sejarah kolonial sampai dengan era perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Siapa sangka bahwa stasiun ini dulunya memiliki 2 percabangan ke arah utara dan selatan. Jalur ke utara mengarah ke Magelang dan berakhir di Parakan, sementara jalur ke selatan mengarah ke Palbapang.

Penampakan Stasiun Yogyakarta melalui Google Earth
Merah : Jalur ke selatan (Bantul/Palbapang)
Biru : Jalur ke utara (Magelang/Kedungjati)


Pada kesempatan kali ini kami akan mengulas kembali sisa-sisa  keberadaan jalur kereta api Yogyakarta - Palbapang yang telah dinonaktifkan beberapa dekade yang lalu. Namun alangkah baiknya jika kita mengetahui mengapa jalur ini dahulunya dibuat.

Bermula dari dikeluarkannya Undang -Undang Agraria atau Agrarische Wet dan Undang-Undang Gula atau Suiker Wet pada tahun 1870 oleh Parlemen Belanda yang bercorak liberal membuat pintu investasi di Hindia Belanda terbuka lebar, Pemerintah Kolonial tak lagi menjadi pemegang mutlak perekonomian tanah jajahan. Hal inilah yang memicu pembangunan perkebunan maupun Pabrik Gula yang dibangun di Indonesia, khususnya di Jawa. Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri terdapat  sekitar 19 pabrik gula yang ada, kenapa begitu banyak? karena pada saat itu harga pasaran gula di dunia cukup tinggi.


Peta pabrik gula di Provinsi DIY
sumber : https://www.kompasiana.com/lengkongsanggar/591fc8bafd22bd4c6d5f7327/pabrik-gula-di-yogya-tidak-hanya-pg-madukismo?page=all


Perlu kita ketahui  alat transportasi yang umum dijumpai waktu itu  masih bertenaga hewan seperti dokar atau pedati. Tentu tak relevan jika untuk mengangkut berkoli koli tebu atau gula menuju ke pabrik atau pelabuhan untuk diekspor. Untuk itulah diperlukan transportasi yang lebih cepat, kuat, dan efektif untuk mengatasi masalah ini, maka dipilihlah kereta api.

Dalam pembangunan serta pengelolaan kereta api di segmen  Yogyakarta - Palbapang  dipegang oleh perusahaan kereta api swasta Hindia Belanda bernama NISM atau NIS (Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij). Jalur ini dibangun setelah dikeluarkannya Gouvernement Besluit No.9 tahun 1893 yang berisi persetujuan konsesi perusahaan swasta pengelola pabrik gula di Bantul. Jalur ini terbagi atas 2 segmen dalam pembangunannya, yaitu segmen pertama Yogyakarta-Srandakan yang dibuka pada tanggal 21 Mei 1895. Kemudian segmen kedua Srandakan-Sewugalur yang dibuka pada tahun 1915.

Seiring berjalannya waktu, jalur ini menghubungkan  beberapa pabrik gula seperti pabrik gula Gesikan, pabrik gula Sewugalur, pabrik gula Bantul dan pabrik gula Madukismo. Sementara terdapat tujuh stasiun maupun halte untuk melayani angkutan penumpang dan barang di segmen Yogyakarta-Palbapang. Stasiun tersebut diantaranya adalah Stasiun Yogyakarta, Stasiun Ngabean, Stasiun Dongkelan, Stasiun Winongo, Stasiun Cepit, Stasiun Bantul dan Stasiun Palbapang.

Pada tanggal 11 Juli 2020 yang lalu saya bersama kawan dari komunitas DRH (Dead Rail Hunter) berkesempatan melakukan "napak tilas" di jalur Yogyakarta-Palbapang. Kegiatan ini kami mulai dari Stasiun Yogyakarta, stasiun dimana percabangan jalur ini dimulai. 

Hari yang cerah menyambut kami di Stasiun Yogyakarta, kami memulai penelusuran kami di bangunan selatan Stasiun Yogyakarta. Tampak sebuah monumen lokomotif D 301 61 09 dengan livery khas PJKA, mengingatkan kami dengan masa kejayaan perkeretaapian di Indonesia khususnya pulau Jawa era 60-70an. Lokomotif ini pernah melayani beberapa kereta api feeder (pengumpan) di lintas cabang maupun sebagai lokomotif pelangsir.

monumen lokomotif D300 61 09
Dokumentasi : fachri.ea



Kemudian kami menuju ke titik dimana percabangan tersebut menjauh dari jalur utama (Yogyakarta-Kutoarjo) tepatnya di depan Koramil 14 Gedongtengen. Disinilah jalur kereta api memotong jalan Jlagran Lor dan menuju ke arah selatan. Syukurlah, di tempat ini bekas rel tersebut masih ada walaupun sebagian telah tertimbun aspal maupun beton. 

Koramil 14 Gedongtangen




Bekas rel terlihat, tepat di depan Koramil 14 Gedongtangen


Bekas rel yang terlihat memotong jalan Jlagran Lor



Terlihat rel yang tertimbun beton



Penemuan ini membuat kami semakin penasaran akan keberadaan jalur Yogyakarta-Palbapang, kami pun melanjutkan penelusuran ke Stasiun Ngabean. Berikut bukti jalur rel di sepanjang ruas Yogyakarta-Ngabean





rel yang terlihat di sepanjang jalan
Gg. Masjid Al Hasanah https://maps.app.goo.gl/3uxgwk6mobvhnzMt9

Akhirnya kami tiba di Stasiun Ngabean, untunglah kami diperkenankan untuk melihat dan mendokumentasikan gedung stasiun yang sekarang telah digunakan untuk kantor sekaligus agen travel "Si Thole", agen travel pariwisata untuk wilayah Kota Yogyakarta. Kompleks stasiun kini sudah digunakan untuk area parkir, pertokoan dan Halte untuk bus kota.

Terlihat bangunan stasiun ini masih utuh dan terawat, lantai peron berpola "tahu" masih asli, bahkan masih ada satu jalur rel yang ada persis di depan stasiun, 3 pasang roda kereta yang masih utuh ditempatkan di rel yang ada di stasiun sebagai "monumen" bersejarah tempat itu sebagai Stasiun Kereta Api Ngabean. Tak jauh dari situ terdapat sebuah sinyal masuk yang menggunakan sistem mekanik di depan kantor Kelurahan Notoprajan, 100 meter selatan stasiun.


Bangunan utama Stasiun Ngabean, menjadi kantor dan agen travel

Satu jalur yang masih tersisa dan dirawat, bukti berharga keberadaan jalur Yogyakarta-Palbapang

3 pasang roda kereta 



Kami melanjutkan penelusuran di stasiun berikutnya, yaitu Stasiun Dongkelan. Sebuah stasiun yang mungkin bisa dibilang "halte" karena ukurannya yang relatif kecil. Letaknya ada di depan Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta. Bangunannya bersih dan terawat. Namun, sayangnya ini hanyalah replika, bangunan aslinya sudah habis dilalap api. 

Stasiun Dongkelan

Papan status tanah : stasiun dikuasai oleh Pemkot Yogyakarta

Tak lama kami menuju melanjutkan ke Stasiun Winongo, sebuah stasiun yang berperan cukup penting dalam perjalanan PG (Pabrik Gula) Madukismo Yogyakarta, Mengapa? karena stasiun ini melayani percabangan menuju PG Madukismo. Namun sebelum sampai di Stasiun, kami harus melewati bekas jembatan kereta Sungai winongo. Jembatan ini adalah bekas jembatan kereta dengan lebar kurang lebih 1,5 meter dan panjang 40 meter, yang telah dicor beton oleh warga dan tanpa pembatas jembatan di kiri dan kanan, tentunya cukup menguras skill keseimbangan pengendara yang melintas.

Lebar jembatan yang kecil


salah satu ujung jembatan



Berjalan 200 meter ke selatan jembatan akhirnya kami sampai di Stasiun Winongo, bangunan yang cukup terawat, di cat warna hijau dan diberi mural memberi kesan segar pada kami. Namun saat mengetahui isi dari stasiun ini membuat kami cukup ngeri. Ternyata di salah satu ruang stasiun ini adalah gudang penyimpanan keranda jenazah. Warga sekitar menuturkan stasiun ini rusak berat pada peristiwa gempa bumi Yogyakarta 2006, alhasil warga dengan bergotong royong merenovasinya kembali, lalu bangunannya dimanfaatkan sebagai ruang pertemuan atau gudang penyimpanan, kami kemudian bertanya bagaimana pendapat jika stasiun dan jalur ini diaktifkan kembali, warga setuju dan tidak keberatan jika stasiun ini diaktifkan kembali dengan alasan dapat membangkitkan perekonomian warga sekitar.

Stasiun Winongo




keranda yang ada di dalam stasiun

Tak lupa kami ingin melihat bekas percabangan menuju PG Madukismo yang terletak sekitar 50 meter utara stasiun, ternyata masih terdapat rel wesel namun bekas persinyalan sudah tak dapat dijumpai

Bekas rel wesel, tidak terawat dan tertimbun tanah


Kemudian kami melanjutkan penelusuran ke Stasiun Cepit letaknya tepat di pertigaan Cepit, sayang tak dapat ditemukan bekas bangunan dan relnya. Bangunan stasiun sudah di bongkar dan dibangun sebuah pos polisi.
Pos Polisi Cepit, lokasi yang diyakini sebagai letak Stasiun Cepit 

Selepas dari Stasiun Cepit kami menuju Kota Bantul, kota dimana Stasiun Bantul berdiri. Penampakan dari stasiun ini sangat berbeda, Stasiun ini ssepertinya baru saja direnovasi dan di sebelahnya ada sebuah taman anak anak. Lumayan sebagai hiburan pelepas penat setelah menelusuri Jalur mati. sayang sudah tak ada lagi bekas rel kereta maupun persinyalan.




Taman Stasiun Bantul
Stasiun Bantul





Kami langsung menuju pemberhentian terakhir dari jalur Yogyakarta-Palbapang ini, yaitu Stasiun Palbapang. Stasiun yang cukup besar dibanding stasiun-stasiun sebelumnya. Kini area stasiun menjadi Terminal Palbapang yang cukup ramai melayani Bus AKDP (Antar Kota Dalam Provinsi) maupun AKAP (Antar Kota Antar Provinsi).


Papan nama Terminal Palbapang

Bangunan utama Stasiun Palbapang, terawat dan bersih


Sebenarnya Stasiun Palbapang pada zaman pemerintah kolonial bukan stasiun terminus/stasiun ujung, jalur ini masih berlanjut hingga Sewugalur, Kabupaten Kulonprogo. Tepatnya berujung di PG Sewugalur. Namun ketika Jepang masuk Indonesia dan menguasai perkeretaapian , jalur Palpabang-Sewugalur dibongkar untuk kepentingan perang jepang. Beberapa diyakini untuk membuat jalur di Burma, atau untuk membuat jalur saketi-bayah.


Lengkap sudah penelusuran yang kami jalani, total ada 9 stasiun yang kami singgahi dan 1 diantaranya sudah tak berbekas (Stasiun Cepit). Syukurlah, masih ada warga yang peduli dengan warisan sejarah ini dengan merawat bahkan membangun/merenovasi kembali. Karena bagaimanapun Jalur kereta inilah yang telah menjadi saksi pembangunan perekonomian dan perdagangan di Yogyakarta khususnya Bantul. Semoga para generasi berikutnya tidak lupa akan keberadaan kereta api yang pernah melintasi Yogyakarta-Palbapang. Terimakasih kepada para pembaca. Salam Sejarah, sampai jumpa pada postingan berikutnya. Wassalamualaikum wr.wb.





2021| fachri.ea
















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ragam gerak tari Dolalak dan Gambiranom

PENGERTIAN TARI MENURUT BEBERAPA AHLI

Selamat Datang Di Blog Kami